“Pandangan Psikologi Islami terhadap Kesehatan Mental”
Di susun oleh :
Darta Ali Mubaraq (30701201196)
Dewi Yanti Pertiwi (30701201197)
Asrina Aris (30701201198)
Adi Sutryatno (30701201214)
Dinda Nur Safitri (30701201221)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
Di susun oleh :
Darta Ali Mubaraq (30701201196)
Dewi Yanti Pertiwi (30701201197)
Asrina Aris (30701201198)
Adi Sutryatno (30701201214)
Dinda Nur Safitri (30701201221)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “ Pandangan Psikologi Islami terhadap Kesehatan Mental“
dapat terselesaikan dengan baik dan pada waktu yang di harapkan. Penyusun
makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung terselesainya tugas ini.
Makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan baik
dari segi materi maupun penulisan. Kekurangan tersebut di sebabkan karena
adanya berbagai keterbatasan yang kami miliki terutama lliteratur atau bahan.
Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan tugas berikutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
memberikan dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tim
Penyusun
Semarang,
29 Mei 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat yang serba kompleks, sebagai
produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbainsasi,
memunculkan banyak masalah individual yang berdampak pada masalah sosial.
Berangkat dari hal tersebut maka, tidak jarang kita mendengar penyesuaian diri
terhadap masyarakat yang hyperkompleks itu tidak menjadi mudah. Hal ini
mengantarkan masyarakat kedalam kesulitan-kesulitan seperti kebingungan,
kecemasan, dan konflik-konflik baik yang terbuka maupun yang sifatnya tertutup
atau dalam ranah batin sendiri.
Hal ini sejalan dengan perkataan Victor Frankl yaitu salah satu psikolog
beraliran humanis, mengatakan bahwa di era modern yang serba kompleks ini,
kebanyakan masayarakat mengalami kekeringan makna dan penetapan tujuan hidup
yang ditandai dengan munculnya berbagai gejalah seperti frustasi, perasaan hampa,
serba bosan, dan apatis.
Wujud dari kehidupan dari masyarakat
yang serba kompleks mengahdirkan berbagai kasus kriminal dan tindakan yang
tidak senonoh seperti pemerkosaan, pembunuhan, bahkan sampai pada ranah
pemikiran sempit yaitu dengan mengakhiri hidup. Situasi tersebut seakan menjadi
warna bagi kehidupan yang tertuang dalam rangkaian media masa.
Era yang kompleks dengan segala
permasalahannya, menciptakan kerinduan akan adanya setitik solusi untuk
menjawab segala permasalahan manusia, yang lebih dipersempit dalam ranah
wilayah intern manusia itu sendiri. Arnold Tonybee seorang sejarawan asal
Inggris, mengatakan bahwa kemiskinan spiritual menjadi pemicu lahirnya krisis
pada bangsa Eropa dizaman modern ini, dan melalui agama permasalahan tersebut
dapat teratasi.
Tidak hanya itu dalam pembicaraanya Carl G. Jung menawarkan eksistensi agama
sebagai solusi dari permasalahan yang diemban manusia, setelah sekian lama
dalam terapi psikologi, ia berkata :“Selama tiga puluh tahun ia menemukan
banyaknya pribadi-pribadi dari bebagai bangsa yang berbeda, dengan tingkatan
umur diatas tiga puluh tahun. Mereka secara keseluruhan dianggap sebagai mangsa
penyakit, karena hilangnnya agama dalam setiap masa pada diri. Dan kesembuhan
akan hadir apabila mereka kembali kepada wawasan agama tentang kehidupan.”
Agama dalam eksistensinya sangat
mengutamakan perilaku saling tolong menolong dalam setiap keadaan, baik dalam
keadaan mapan maupun sulit, sebagaimana tertuang dalam Firmannya :
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaraamu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat
(QS: al-Hujurat:10) Hal ini salah satunya bertujuan untuk terciptanya masyarkat
yang memiliki mental atau jiwa yang sehat.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Definisi
kesehatan mental dalam islam ?
2. Tanda-tanda
kesehatan mental dalam islam?
3. Metode
perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam islam?
4. Bentuk
psikoterapi dalam islam?
C. TUJUAN
C. TUJUAN
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui
definisi tentang kesehatan mental dalam Islam
2. Mengenal
tanda-tanda kesehatan mental dalam islam
3. Mengetahui
metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam islam
4. Mengetahui
bentuk bentuk psikoterapi dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KESEHATAN MENTAL
Mustafa
fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola
dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy), bahwa
kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis ( al-amradh
al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzhihaniyah). Kedua, pola positif
(ijabiy) bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian
terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini
lebih umum dan lebih luas dari pola yang pertama.
Siswanto
dalam bukunya yang berjudul “Kesehatan mental” mengatakan bahwa, dalam
menentukan seseorang tergolong sehat mental atau tidak melalui berbagai pendekatan,diantaranya:
(1) Pendekatan statistik yaitu pendekatan yang berdasarkan jumlah untuk
mentukan sehat tidaknya seseorang. (2) Pendekatan normatif yaitu penggunaan
norma sosial untuk menentukan layak attidaknya dan sehat atau tidak mental
seseorang. (3) Pendekatan distres
subjektif, adalah penentuan sehat dan tidaknya mental seseorang melalui
perasaan yang dialami seseorang terhadap persoalan yang mengganggu. (4)
Pendekatan fungsi/peranan sosial, yaitu pendekatan yang melihat mampu tidaknya
seseorang menhadapi gangguan yang melekat pada tugas kesehariannya. Pendekatan
interpersonal, yaitu pendekatan yang menentukan sehat atau tidaknya mental
seseorang melalui pandangan tetang kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri.
Hanna
Djumhana Bastaman lebih luas menyebut empat pola yang ada dalam kesehatan
mental, yaitu pola simptomatis, pola penyesuaian diri, pola pengembangan
potensi, dan pola agama. Pertama pola simtomatis adalah pola yang berkaitan
dengan gejalah (symptoms) dan keluhan (compliants), gangguan atau penyakit
nafsaniah. Kesehatan mental berarti terhindarnya seseorang dari segala gejalah,
keluhan, dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis. Kedua pola
penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam
memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. Atau memenuhi
kebutuhan pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan
sosialnya. Ketiga, pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan
kulaitas khas insani (human qualitities) seperti kreativitas, produktuvitas,
kecerdasan, tanggung jawab, dan sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan
individu untuk mefungsikan potensi-potensi manusianya secara maksimal, sehingga
ia memperoleh mamfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat,
pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama secara benar dan baik
dengan landasan keimanan dan ketakwaaan.
Dengan
bepijak pada beberapa pola diatas, zakiah darajat secara lengkap mendefinisikan
kesehatan mental dengan terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi kejiwaan dan tercapainya penyesuaian diri antara individu dengan
dirinya sendiridan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta
bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. Menurut Al-Ghazali
kesehatan dapat dilihat dalam kemampuan mengahadapi kebahagiaan hidup serta
iman dan akhlaklah yang menjadi solusi dalam perwujudannya.
B.TANDA-TANDA KESEHATAN MENTAL DALAM ISLAM
Tanda-tanda kesehatan mental menurut
Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam, yaitu: pertama, kemapanan
(al-sakinah) , ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam
menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat maupun
Tuhan.
Kata sakinah dalam kajian semantik
bahasa Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan (tempat), maskin yang
berarti manzil atau bayit (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw
iyal al-dar (penduduk desa atau negara). Dari pengertian semantik ini, kata
sakinah memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah
yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi sakinah juga memiliki arti
(1) al-wada’ah, al-waqarah, al-thuma‘ninah yang berarti ketenagan (2) al-rahmah
yang berarti kasih sayang atau yang dalam bahsa inggris berarti calmness (ketenagan),
quietness (keamanan), peacefulnes (perdamaian), dan serenity (ketentraman).
Al-zuhaili dalam tafsirnya memberi arti
sakinah dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa
dari segala kecemasan ( al-qalaq/anxiety) dan kesulitan atau ksempitan batin
(al-idtirar). Sakinah juga memmiliki arti meninggalkan permusuhan atau
peperangan, rasa aman ( al-aman), hilangnya ketakutan ( al-khawf/phobia) dan
kesedihan dari jiwa. Ibnu Qayyim memberikan arti dari sakinah dengan ketengan
yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah
dan gelisah, agarkeimnana dan keyakinannya bertambah.
Pengertian ketenangan didalam istilah
sakinah tidak berarti statis atau tidak bergerak berarti jiwa manusia tidak
akan berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman
Allah SWT:
Dia-lah
yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mu’min supaya
keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka ( yang telah ada) (QS.
Al-Fath:4)
Kata thuma’ninah hampir memiliki makna
yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa disertai
kekacauan. Menurut sabda Nabi; kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan
didalam hati dan dalam perkataan sahabat; kejujuran itu menenangkan sedang
dusta itu meragukan (raibah). Firman Allah SWT: orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tentram (QS. Al-Ra’d:28).
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat
mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah. Pendapat pertama dinyatakan bahwa
thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa
sakinah merupakan akibat tuma’ninah. Mensikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim
menyatakan bahwa thuma’ninah lebh umu daripada sakinah, sebab thuma’ninah
mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya
mencakup ketenangan dan rasa takut.
Sedangkan rileks (rahah) merupakan
akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang,
dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang
amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia
dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa,
kotoran, dan penyakit. Bila ia menangis maka denga segera dapat tersenyum dan
tertawa terbahak-bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi
segera melupakan dan kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan
jiwa, seperti karena tidak diperdulikan ibunya atau dimarahi ibunya, ia segera
lupa dan dapat tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan minuman-minuman
keras dan obat tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan
permainan yang sasarannya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti
narkoba.
Kondisi rileks memiliki korelasi yang signifikan
dengan kesucian batin. Jika batin bersih laksana cermin, maka setitik noda yang
menempel didalamnya, segera diketahui dan mudah unutk diapus. Sementara batin
yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang dan karat-karat dosa yang
berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat. Seseorang yang
memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka elemen-elemen yang
jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang gampang terkena
goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang dapat meresahkan
dan menggoncangkan jiwa, sedangkan pahala adalah apa yang dapat memuaskan dan
membahagiakan jiwa.
Kondisi mental tenang dan tentram dapat
digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya kemampuan individu dalam
menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah
maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah (QS. Al-Baqarah:156),
bersikap bersahaja dalam mengahdapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci
terkadang memiliki niali baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai
buruk (QS. Al-Baqarah:216), (2) kemampuan individu dalam bersabar menghadapi
persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan atau ketakutan dan kemiskinan
(QS: al-Baqarah:155), dan (3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap
baik dalam menempuh kehidupan, sebab saetiap ada kesulitan pasti akan datang
kemudahan (QS. Al-Insyirah: 4-5).
Kedua, memadahi (al-kifayah) dalam
beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan, dan kedudukannya
secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda
dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya seseorang yang memaksa menduduki jabatan
tertentu dalam bekerja tnapa di imbangi kemampuan yang nmemadai maka hal itu
akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan penyakit
mental. Firman Allah SWT: supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari
apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
(QS. Yasin:35) sabda Nabi SAW : makanan yang lebih baik dimakan oleh
seseorang adalah makanan yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab Nabi
Dawud makan dari hasil kerjanya sendiri. (HR. Al-Bukhari)
Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan
keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima
keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi,
maupun kemampuannya, karena keadaan itu merupakan anugerah (fadhl) dari Allah
SWT. Unutk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah Tuhan yang diberikan kepada
manusia terdapat dua jenis, yaitu, (1) bersifat alami (fitri) seperti keadaan
postur tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia dilahirkan dari
keluarga tertentu, dan sebagainya. Manusia yang sehat akan mensyukuri anugerah
itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti itu , sebab dibalik
penciptaan-nya pasti terdapat hikama yang tersembunyi, (2) dapat diusahakan
(kasbi), seperti bagaimana mendayagunakan postur tubuh yang gemuk dalam bekerja atau berkarier,
bagaimana mengfungsikan karakter, bagaimana mengfungsikan karakter agraesif,
dan sebagainya. Manusia yang sehat tentunya akan menggerakan segala daya
upayanya secara optimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Keempat, adanya kemampuan untuk
memelihara atau menjaga diri. Artinya, kesehatan mental seseorang ditandai
dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan
dilakukan. Jika perbuatan itu semata mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa
harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwah
kepada Allah SWT. Maka harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang hina
dapat menyebabkan psikopatologi, sedang perbuatan yang baik menyebabkan
pemeliharaan kesehatan mental.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan awa nafsunya. Maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)(QS.
al-Nazi’at:40-41).
Kelima, kemampuan untuk memikul tanggung jawab , baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukan kematangan diri seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya. Firman Allah SWT:
Dan
kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah
kamu kerjakan
(QS.
an-Nahl:93).
Keenam, memiliki kemampuan untuk
berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. Berkorban berarti kepedulian
diri unutk kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kekayaan dan
kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya kesadaran diri akan kesalahan
yang diperbuat, sehingga ia berani menaggung segala resiko akibat kesalahannya,
kemudian senantiasa memperbaikinya agar tidak melakukan kesalahan yang sama
unutk kedua kalinya. Kedua persoalan ini dianggap sebagai tanda kesehatan
mental sebab apa yang dimiliki manusia, baik berupa jiwa-raga maupun atau
kekayaan, hanyalah amanah Allah SWT. semata. Sebagai amanah, apabila seseorang
menerimnya dalam kondisi baik, maka tidak boleh disia-siakan atau mensikapi
dengan sikap yang meledak-ledak sehingga mengganggu stabilitas emosi, melainkan
digunakan untuk kemaslahatan dijalan Allah. Namun apabila diterima dalam
kondisi kurang baik, maka tidak boleh mengumpat-ngumpat, mensikapi secara
apatis dan pesimis, apalagi mengkufurinya. Sikap yang seharusnya dilakukan
adalah menerima dengan baik dan berusaha mnaggunakannya septimal mungkin.
Firman
Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, sukakah
kamu Aku tunjukkan sesuatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab
yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjhad dijalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya. Niscayah Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukan kamu
kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, dan (memasukan kamu)
ketempat tinggal yang baik didalam surga.itulah keberuntungan yang besar
(QS.
al-Shaf:10-12).
Ketujuh, kemampuan individu unutk
membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya dan
saling mengisi. Hal itu dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab
masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila ditimpa musibah maka
yang lain ikut membantunya. Apabila ia mendapat kelaluasan rizki maka yang lain
ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling curiga, buruk
sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Denga melakukan yang demikian itu
maka hidupnya tidak menjadi salah tingkah, tidak asing dilingkungannya sendiri,
dan hidupnya mendapat simpati dari lingkungan sosial-nya. Firman Allah SWT:
Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaraamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat
(QS: al-Hujurat:10)
Kedelapan, memiliki keinginan yang
realistik, sehingga dapat diraih secara baik.keinginan yang tidak masuk akal
akan membawa seseorang kejurang angan-angan, lamunan, kegilaan, dan kegagalan.
Keinginan yang terealisir akan memperkuat kesehatan mental, sebaliknya
keinginan yang terkatung katung akan menambah beban batin dan kegilaan.
Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan
hadis Nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah: bekerjalah unutk duniamu
seakan-akan engakau hidup unutk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau amti esok hari.
Kesembilan, adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan kebahagian dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya.
C. PENYAKIT MENTAL/JIWA
Penyakit jiwa ada dua macam,
yaitu; Pertama, bentuk penyakit yang meniadakan berbagai maqam hati. Misalnya
riya’ dan kemusyrikan menafikan tauhid dan ‘ubudiyah sedangkan cinta
kepemimpinan, cinta kedudukan dan cinta dunia meniadakan zuhud. Kedua, bentuk
penyakit yang menafikan takhalluq dengan nama-nama Allah dan peneladanan kepada
Rasulullah saw. Misalnya amarah bukan pada tempatnya meniadakan kesantunan.
Beberapa penyakit mental/jiwa yang perlu dibersihkan
atau disucikan:
1.
Kufur, nifaq,
kefasikan dan bid’ah,
2.
Kemusyrikan dan
riya,
3.
Cinta kedudukan
dan kepemimpinan,
4.
Kedengkian,
5.
‘ujub,
6.
Kesombongan,
7.
Kebakhilan,
8.
Keterpedayaan,
9.
Amarah yang
zhalim,
10. Cinta dunia, dan
11. Mengikuti hawa nafsu.
D. METODE PEROLEHAN DAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MENTAL DALAM ISLAM.
Dalam literatur yang berkembang,
setidak-tidaknya terdapat tiga pola untuk mengungkap metode perolehan dan
pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif islam: Pertama, metode tahalli,
takhalli, dan tajalli. Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat.
Ketiga, metode iman, Islam dan ihsan.
1.
Metode
Imaniah
Iman secara
harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang
yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam
menghadapi semua problem hidup. Rasa aman dan keyakinan itu diperoleh dari
kepercayaannya terhadap sesuatu yang gaib, memilki kekuatan dan kekuasaan yang
melebihi dirinya, dan dianggap mampu mengendalikan dan mempengaruhi kehidupan
jiwa manusia. Dia adalah Tuhan alam semesta.
Pengertian iman
sebagaimana yang termaktub dalam hadist di atas adalah percaya dengan sepenuh
hati bahwa Allah SWT. adalah Tuhan semesta alam, yang menciptakan dan mengatur
alam dan isinya. Dalam pengaturan itu, Allah Allah SWT memberikan rambu-rambu
kehidupan berupa petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan
hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Iman memotivasi individu untuk selalu
hidup dalam kondisi sehat, baik jasmani dan ruhani. Kesehatan jasmani diperoleh
melalui pengetahuan dan penerapan hukum-hukum kauni, sedang kesehatan ruhani diperoleh melalui hukum-hukum Qurani. Seseorang yang memiliki iman,
tentu ada tempat untuk bergantung, tempat mengadu, dan tempat memohon apabila
ia ditimpah problema atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku
fisik maupun psikis.
Keimanan
direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin (syakhhiyah
al-mu’min) yang membentuk enam karakter (al-thab’u), yaitu:
a. Karakter rabbani,
yaitu karakter yang mentransinternalisasikan (mengambil dan mengamalkan)
sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT. ke dalam tingka laku nyata sebatas pada
kemampuan manusiawinya. Apabila Allah Maha Cinta-Kasih (al-Rahman wa al-Rahim)
maka kepribadian rabbani menghendaki adanya cinta kasih, lemah lembut, dan
penuh keakraban. Apabila Allah Maha Mengetahui (al-‘Alim) maka kepribadian
rabbani menghendaki adanya manusia yang memiliki iptek. Dan begitulah
seterusnya.
b. Karakter malaki,
yaitu karakter yang mampu mentransinternalisasikan sifat-sifat malaikat yang
agung dan mulia. Karakter kepribadian malaki di antaranya adalah menjalankan
perintah Allah SWT. dan tidak bermaksiat dengan-Nya (QS.al-Tahrim:6), bertasbih
kepada-Nya (QS.al-Zumar:75), menyampaikan informasi kepada yang lain (QS. Al-Nahl:102),
membagi-bagi rizki untuk kesejahteraan bersama, serta memelihara kebun (jannat)
yang indah, (QS.al-Ra’d: 24) dan sebagainya.
c. Karakter qurani,
yaitu karakter mampu mentransinternalisasikan nilai-nilai al-Quran dalam
tingkah laku nyata. Karakter kepribadian qurani diantaranya adalah membaca,
memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung didalam al-Quran dan Sunnah,
sebab ia memberikan petunjuk (al-hidayah), rahmah (al-rahmah), berita gembira
(al-tahsyir) bagi orang muslim yang bertakwa (QS. Al-Nahl: 2), memberikan
wawasan yang totalitas untuk semua aspek kehidupan (QS. al-An’am: 38) dan
sebagainya.
d. Karakter rasuli,
yaitu karakter yang mampu mentransinternalisasikan sifat-sifat rasul yang
mulia. Karakter kepribadian rasuli diantaranya adalah jujur (al-shidq), dapat
dipercaya (al-amanah), meyambung informasi atau wahyu (al-tabligh), dan cerdas
(al-fathanah). Lebih dari itu, karakter rasuli menghendaki adanya penterjemahan
mukjizat rasul dalam konteks empirik. Apabila Nabi Ibrahim as. Mampu mendinginkan
api (QS. al-Anbiya: 69) maka isyaratnya adalah menghendaki adanya pemanfaatan
api untuk energi AC atau kipas angin yang mendinginkan.
2.
Merode
Islamiah
Islam secara
etimologi memiliki tiga makna, yaitu penyerahan dan ketundukan (al-silm),
perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah). Seseorang yang
tunduk, patuh dan menyerah dengan sepenuh hati terhadap hukum-hukum dan
aturan-aturan Allah SWT., niscaya kehidupannya dalam kondisi aman dan damai,
yang pada akhirnya mendatangkan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Pengertian Islam secara terminologi adalah pengakuan dan penyerahan diri secara
mutlak kepada Zat Yang Maha Benar, yakni Allah, dengan segala peraturan-Nya.
Pengakuan dan penyerahan itu diwujudkan dalam perilaku nyata, baik perilaku
ruhani maupun jasmani, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Realisasi metode
islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah
al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat
menyesuaikan diri dalam setiap kondisi. Kepribadian muslim menimbulkan lima
karakter ideal.
a. Karakter
syahadatain,
yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala
belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dn relatif, seperti materi dan hawa
nafsu (QS. al-Furqan: 43), kemudian mengisi dari sepenuh hati dengan Allah,
Tuahn yang mutlak hanya Allah SWT. yang patut disembah dan dipatuhi, sebab Dia
merupakan Zat Yang Maha Segala-galanya.
b. Karakter
mushali,
yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah (ilahi) dan dengan sesama manusia (insani). Komuniakasi ilahiah ditandai dengan takbir, sedang komunikasi insaniah ditandai dengan salam.
Komunikasi dengan insaniah bermutu tinggi apabila didahului dengan komunikasi
ilahiah, sebab dengan begitu jiwa-raganya bersih dan suci. Salam di akhir
shalat bukan sekedar simbol pengucapan, melainkan simbol perilaku. Dalam salam
itu seakan-akan seseorang melihat masyarakat sekitarnya dengan menengok ke
kanan dan ke kiri. Karakter mushali juga menghendaki adanya kebersihan dan
kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir diwujudkan dalam wudlu (QS.
al-Maidah:6), sedang kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan
kekhusyukan (QS. al-Mu’minun: 1-2).
c. Karakter
muzakki,
yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian
jiwanya (QS. al-Taubah:103) serta untuk pemerataan kesejahteraan umat pada
umumnya. Karakter muzakki menghendaki adanya pencarian harta secara halal pula,
menurut adanya produktivitas dan kreativitas.
d. Karakter
sha’im,
yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu
rendah. Di antara karakter sha’im adalah menahan makan, minum, hubungan seksual
pada waktu, tempat dan cara yang dilarang. Apabila dirinya telah terbebas dari
nafsu-nafsu yang rendah itu maka ia berusaha mengisi diri dengan tingka laku
yang baik, seperti bersedekah pada waktu berbuka dan sahur, shalat sunat malam,
dan bertadarrus al-Quran.
e. Karakter
hajji,
yaitu karakter yang mau mengorbankan harta, waktu bahkan nyawa demi memenuhi
panggilan Allah SWT. karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki
wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan
wisata spiritual.
3.
Metode
Ihsaniah
Ihsan secara
bahasa berarti baik. Orang yang baik (muhsin) adalah orang yang mengetahui akan
hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dilakukan dengan
niatan yang baik pula. Orang yang berbuat baik berarti menempuh jalan yang
tidak mengandung risiko, sehingga hidupnya terhindar dari permusuhan,
pertikaian, dan iri hati. Ihsan secara istilah ialah usaha untuk memperbaiki
kualitas perilaku. Kualitas itu dicapai melalui upaya mendekatkan diri kepada
Allah SWT., sehingga dalam gerak-gerik tingkah lakunya seakan-akan melihat
Allah. Apabila ia tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya dia telah
melihatnya.
Metode ini
apabila dilakukan dengan benar maka membentuk kepribadian muhsin (syakhiyah
al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan, yaitu :
a.
Pertama,
tahapan permulaan (al-bidayah). Pada
tahapan ini, seseorang merasa rindu kepada Khaliknya. Ia sadar dalam
kerinduannya itu terdapat tabir (al-hijah) yang menghalangi hubungannya,
sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut juga
tahapan takhali. Takhali adalah mengosongkan
diri dari segala sifat-sifat yang kotor, tercela, dan maksiat. Kepribadian
muhsin tingkat pemula ini diantaranya meninggalkan syirik (menyesuaikan Allah),
sebab ia merupakan tingkah laku yang tidak akan diampuni dosanya (QS. al-Zumar:
3, al-Nisa’:116), meninggalkan kufur (QS. al-Anfal:55, al-Bayyinat:6,
Muhammad:3,12, al-A’raf:27, al-Baqarah:98), meninggalkan nifak (QS.
al-Baqarah:8-10, al-Munafiqun:1,4, al-Taubah:73, an-Nisa:138,145) meninggalakan
fusuk (QS. al-Taubah:67,84), meninggalkan bid’ah (QS. Yunus: 32, al-An’am:153),
meninggalkan sombong (QS. al-Baqarah: 34, al-Nahl:23, Luqman:18, Ghafir:35,
al-A’raf:146), dengan meninggalkan riya’ (QS. al-Kahfi:110, al-Syura’:20,
al-Ma’un:4-7), dan lain sebagainya.
b.
Kedua,
tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat).
Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela
dan maksiat, kemudian ia berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri
dengan tingkah laku yang baik. Tahapan ini disebut juga tahapan tahalli. Tahali
adalah upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik. Tahapan kedua ini
memiliki banyak fase (al-maqamat). Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan
hirarkinya. Namun, fase yang umum dipakai untuk kepribadian muhsin ini, yaitu:
1) Taubat
dari segala tingka laku yang mengandung dosa (QS. Al-Nur:31, al-Tahrim:8,
al-Baqarah:222, al-Maidah;39, al-Syura’:25, al-Muzammil:20, Muhammad:19,
Zariyat:18, al-Anfal:33, Nuh:10-12).
2) Menjaga
diri dari hal-hal yang syubhat (al-wara’)
3) Tidak
terikat oleh gemerlapan materi atau dunia (al-zuhd) (QS.Zariyat:50,
al-Kahfi:7-8)
4) Merasa
butuh pada Allah (al-faqr)
5) Sabar
terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan (al-Baqarah: 45-46, al-Anfal:46)
6) Tawakal
pada putusan Allah (QS. al-Naml:89, Ali imran:159,173, al-Taghabun:13, al-Maidah:23,
al-Ahzab:3
7) Ridha
terhadap pemberian Allah (QS. al-Bayyinat:8)
8) Merasa
syukur atas nikmat Allah yang diberikan, sedikit atau banyak (QS. Ibrahim:7)
9) Ikhlas
dalam melakukan apa saja demi Allah (QS. Ali Imran:152, al-Isra’:19,
al-Bayyinat:5, al-Zumar:3)
10) Takut
(al-khawf) dan berharap (al-raja’) kepada Allah (QS. al-Isra’:57,
al-Anbiya’:90, al-Baqarah:218, al-Mu’minun:60)
11) Kontinue
dalam menjalankan kewajiban (al-istiqomat) (QS. Hud:112, al-Ahqaf:13-14,
Fushshilat:30-32)
12) Takwa
kepada Allah (QS. Ali Imran:102, al-Taghabun:16, al-Thalaq:2-3, al-Ahzab:70,
al-Anfal:29)
13) Jujur,
berpikir, berzikir dan sebagainya.
Tahapan
ini harus ditopang oleh tujuh pendidikan dan latihan psikofisik (riyadhat al-nafs). Tujuh pendidikan itu
adalah,
(1) Musyaratgah,
yaitu memberikan dan menentukan syarat bagi diri sendiri, melalui cara:
membekali diri dengan iman dan ilmu pengetahuan, memperingati diri menjauhi
segala maksiat dan mendekati perbuatan ma’ruf.
(2) Muraqabah,
yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar selalu dekat kepada Allah.
Kedekatan Allah dengan manusia sengat tergantung pada kedekatan manusia.
(3) Muhasabah,
yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah laku yang diperbuat. Apakah
perbuatan hari ini lebih baik dari hari-hari kemarin. Jika lebih jelek maka ia
harus beristighfar dan berusaha memperbaikinya.
(4) Mu’aqabah
, yaitu menghukum diri karena melakukan keburukan. Cara menghukum diri tidak
seperti umat-umat terdahulu dengan cara bunuh diri, baik secara personal maupun
massal, melainkan dengan cara berbuat baik, sebab perbuatan baik dapat
menghapus perbuatan buruk.
(5) Mujahadah,
yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi baik. Kesungguhan itu, seseorang
tidak lagi memperdulikan pengorbanan yang dikeluarkan, baik dengan harta maupun
jiwa.
(6) Mu’atabah,
yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya. Cara penyesalan itu dengan
bertaubat, yaitu kembali pada hukum-hukum dan aturan-aturan Allah.
(7) Mukasyafa,
yaitu membuka penghalang atau tabir agar tersingkap semua rahasia Allah. Pada
level ini, tabir (hijab) yang menghalangi antara manusia dan rahasia Tuhan
mulai hilang dan tersingkap, sehingga seseorang mengetahui hukum-hukum dan
rahasia Tuhan secara haqq al-yaqin.
c. Ketiga,
tahapan mersakan (al-muziqat). Pada tahapan ini
seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khalik-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan, dengan-Nya.
Tahapan ini disebut juga tajali.
Tajalli adalah menampakkan sifat-sifat Allah SWT. pada diri manusia setelah
sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna.
Tahapan
ketiga ini para sufi biasanya didahului oleh dua proses, yaitu al-fana’ dan al-baqa’. Seseorang apabila mampu menghilangkan wujud jasmaniah,
dengan cara menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan tidak terikat oleh materi
atau lingkungan sekitar maka ketika ini ia telah al-fana. Kondisi itu kemudian beralih pada ke-baqa-an wujud
ruhaniah, yang ditandai dengan tetapnya sifat-sifat ketuhanan.
E. BENTUK-BENTUK PSIKOTERAPI DALAM ISLAM
Menurut A.A. Vahab, Psikoterapi Islami
merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang berupaya menggambarkan dan
menjelaskan penyebab penyakit mental dan perilaku abnormal individu dan
kelompok serta penyembuhannya. Cabang psikologi ini menggambarkan dan
menjelaskan penyebab penyakit mental dan prilaku abnormal individu dan kelompok
serta menyembuhkannya. A.A. Vahab dan Djamaludin Ancok mendasarkan tujuan
psikologi ini pada Q.S. Yunus (10): 57, yang artinya:
“Hai manusia,
susungguhnya telah datang kepada mu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang beriman.”
Dalam
bukunya yang berjudul Nuansa-Nuansa Piskologi Islami Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir mengatakan bahwa, psikoterapi dalam Islam yang dapat menyembuhkan
semua aspek psikopatologi, baik yang bersifat duniawi, ukhrawi maupun penyakit
manusia modern adalah sebagaimana yang telah ungkap oleh Ali bin Abi Thalib
yaitu, obat hati ada lima macam, (1) Membaca Al-Quran sambil mencoba memahami
artinya; (2) Melakukan shalat malam; (3) Bergaul dengan orang yang baik atau
shalih; (4) Memperbanyak shaum atau puasa; (5) Dzikir malam hari yang lama.
1. Terapi Al-quran
Al-Quran
dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama, sebab di dalamnya terdapat
rahasia mengenai bagaimana menyembuhkan penyakit jiwa manusia. Tingkat
kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat sugesti keimanan
seseorang. Sugesti yang dimaksud dapat diraih dengan mendengar, membaca,
memahami dan merenungkan, serta melaksanakan isi kandungannya. Al-quran mampu
mengantarkan pasien kealam penyejukan jiwa.
Allah SWT
berfrman:
Dan Kami
turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian. (QS. Al-Isra, 71:82).
2. Terapi Shalat
Djamaluddin Ancok, dalam bukunya Psikologi
Islami Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi secara umum, mengatakan
bahwa dalam shalat terdapat empat aspek
terapeutik , pertama adalah aspek olahraga, shalat adalah suatu proses yang
menuntut aktivitas fisik yang di dalamnya terdapat proses relaksasi. Hal ini
sesuai dengan salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses terapi
gangguan jiwa latihan relaksasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Nizami diungkap bahwa shalat menghasilkan bio energi yang menghantarkan si
pelaku dalam situasi seimbang (equilibrium). Hasil penelitian lainnya dari Arif Wisono Adi,
menunjukan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan
menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin rajin dan teratur orang
melakukan shalat maka makin rendah tingkat kecemasannya.
Kedua adalah aspek meditasi. Shalat adalah
proses yang menuntut konsentrasi penuh dalamsetiap pelaksanaanya, kondisi
demikian dalam bahasa arab di sebut khusuk.
Khusu dalam shalat adalah suatu proses meditasi, yang dalam penelitian beberapa
ahli dikatakan bahwa aktivitas meditasi berkhasiat menghilangkan kecemasan.
Ketiga adalah aspek auto-sugesti. Bacaan
dalam pelaksanaan shalat adalah ucapan yang dipanjatkan pada Allah. Di samping
berisi pujian pada Allah juga berisikan doa dan permohonan pada Allah agar
selamat di dunia dan di akhirat. Auto-sugesti dalam proses shalat pada dasarnya
tidak jauh berbeda dengan terapi “self-hypnosis” atau terapi yang
dilakukan dengan cara mensugesti diri sendiri melalui ucapan yang baik, dengan
harapan agar memiliki sifat yang baik tersebut. Keempat adalah aspek
kebersamaan. Pelaksanaan shalat disarankan untuk berjamaah dengan harapan agar
terhindar perasaan keterasingan.
3.
Terapi Bergaul
Terapi yang ketiga adalah bergaul dengan orang salih. Orang yang salih
adalah orang yang mampu mengintegrasikan dirinya dan mampu mengaktualisasikan
potensinya semaksimal mungkin dalam berbagai dimensi kehidupan. Jika seseorang
dapat bergaul dengan orang salih maka nasihat-nasihat dari orang salih tersebut
akan dapat memberikan terapi bagi kelainan atau penyakit mental seseorang. Menurut Djamaludin Ancok
seseorang akan terjaga dari gangguan jiwa apabila menjaga ukhuwa antara sesama
dengan didasari rasa saling mengerti atas penderitaan yang dialami orang lain.
4. Terapi Berpuasa
Terapi yang keempat adalah melakukan
puasa. Maksud puasa di sini adalah menahan (imsak) diri dari segala
perbuatan yang dapat merusak citra fitri manusia.Abdul mujib, M. A. dan Jusuf Mudzakir membagi puasa menjadi dua kategori.
Pertama puasa fisk yang terdiri atas, menahan lapar, haus, dan berhubungan
seks, serta hal-hal yang haram dari ketiganya. Kedua, puasa psikis, yaitu
menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu seperti sombong, marah, dusta,
serakah, dan sebagainya.
Al-Ghazali lebih menpersoalkan penyakit
jiwa dari sudut perilaku (akhlaq) positif dan negative, sehingga bentuk-bentuk
terapinya jika menggunakan terapi perilaku. Dalam hal ini dia mengatakan :
“Menegakkan
(melakukan) akhlak (yang baik) merupakan kesehatan mental, sedangberpaling pada
penegakan itu berarti suatu neurosis dan psikosis”.
Kutipan
tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk psikoterapi menurut Al-Ghazali adalah
meninggalkan semua perilaku yang buruk dan rendah, yang mengotori jiwa manusia
serta melaksanakan perilaku yang baik untuk membersihkannya. Perilaku yang baik
dapat menghilangkan dan mengobati perilaku yang buruk, upaya seperti itu dapat
menjadikan jiwa manusia suci, bersih dan fitri sebagaimana ia baru dilahirkan
dari rahim ibunya.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa hikmah berpuasa (menahan rasa
lapar) adalah: (1) Menjernihkan kalbu dan memperluas pengetahuan; (2) Melembutkan
kalbu sehingga mampu merasakan kenikmatan batin; (3) Menjauhkan perilaku yang
hina dan sombong, yang sering mengakibatkan kelupaan; (4) Mengingatkan jiwa
manusia akan cobaan dan azab Allah, sehingga sangat hati-hati di dalam memilih
makanan; (5) Memperlemah syahwat da tertahannya nafsu amarah yang buruk; (6)
Mengurangi tidur agar terjaga unutk beribadah; (7) Mempermudah untuk selalu
tekun beribadah; (8) Menyehatkan badan dan jiwa dari segala penyakit; (9)
Menumbuhkan sikap peduli terhadap sesama; (10) Menumbuhkan kepekaan terhadap
penderitaan orang lain
5. Terapi Zikir
Zikir dalam arti sempit memiliki makna
menyebut asma-asma Allah yang agung dalam berbagai kesempatan. Sedangkan dalam
arti luas, zikir mencakup pengertian mengingat segala keagungan dan kasih
sayang Allah SWT dengan menaati segala perintahnya dan menjauhi segala
larangannya.Menurut Abdul mujib dan Jusuf
Mudzakir, zikir memiliki kesamaan nilai dengan terapi relaksasi karena, didalam
zikir pasien diarahkan ke posisi yang santai melalui pengurangan tegangan
psikis. Allah berfirman:
Zikir mampu mengembalikan kesadaran
seseorang, sebab dalam aktivitas zikir seseorang diarahkan untuk memperbiasakan
mengingat, menyebut, dan mereduksi kembali hal-hal yang tersembunyi didalam
hati. Zikir juga mensugesti seseorang untuk sembuh dari penyakit yang diderita
melalui pemikiran positif bahwa segala penyakit dan penyembuhannya bersumber
dari Allah SWT.
F.
Cara
Praktis Menjaga Kesehatan Mental
Adapun Cara Praktis
yang mesti dilakukan agar kesehatan mental seseorang dapat terjaga, adalah:
1. Menerima dan menghargai diri sendiri
Setiap
individu itu berbeda dan unik, namun satu hal yang sama adalah tidak ada individu
yang sempurna. Hargai diri kita sendiri. Kenali dan terima kelemahan yang kita
miliki, namun fokuslah pada hal-hal yang menjadi kelebihan kita. Bersikaplah lebih
realistis terhadap hal-hal yang masih ingin kita ubah dalam diri kita. Jika hal
tersebut dapat diubah, cobalah untuk mengubahnya secara perlahan.
2. Menjaga
hubungan baik
Tidak
perlu berjuang sendirian saat kita menghadapi suatu masalah. Hubungan keluarga dan
teman yang baik dapat membantu mengatasi tekanan dalam hidup karena dapat memberikan
masukan serta membuat kita merasa diperhatikan. Tetaplah menjaga hubungan baik
dengan selalu bertukar kabar lewat telepon, bertemu, dan saling bercerita.
3. Aktif berkegiatan
Aktiflah
bertemu dengan banyak orang dan tergabung dalam kegiatan baru di lingkungan.
Masuklah dalam komunitas, atur pertemuan dengan teman-teman, atau ikuti kursus
yang dapat membantu kita untuk merasa lebih baik. Ikut kegiatan yang bertujuan
membantu orang lain juga dapat membuat kita merasa dibutuhkan dan menjadi
semakin berharga. Hal ini membuat kepercayaan diri semakin meningkat. Aktivitas
seperti ini juga membantu kita melihat dunia dari pandangan yang berbeda
sehingga membantu melihat masalah dari sudut pandang yang lain.
4. Bercerita kepada orang lain
Bercerita
mengenai perasaan yang dirasakan bukan menandakan bahwa kita lemah, tetapi
merupakan bagian dari usaha kita untuk menjaga kesehatan mental.
Didengarkan oleh orang lain membuat kita merasa didukung dan tidak sendirian. Mungkin awalnya sulit, namun jika terus dilakukan maka akan terbiasa. Oleh karena itu, carilah orang yang anda bisa ajak berbicara dengan santai dan kemukakan apa yang ada di kepala anda.
Didengarkan oleh orang lain membuat kita merasa didukung dan tidak sendirian. Mungkin awalnya sulit, namun jika terus dilakukan maka akan terbiasa. Oleh karena itu, carilah orang yang anda bisa ajak berbicara dengan santai dan kemukakan apa yang ada di kepala anda.
5. Aktif bergerak
Temukan
olahraga yang kita sukai dan mulai lakukan. Latihan pada badan dipercaya dapat
mengeluarkan senyawa kimiawi di dalam otak yang membuat kita merasa lebih baik.
Oleh karena itu, olah raga teratur dapat membuat kita merasa lebih positif, membantu
konsentrasi, tidur, serta membuat kita merasa dan terlihat lebih baik. Bergerak
tidak harus dengan olahraga, namun dapat dilakukan melalui kegiatan lain seperti
berjalan di taman, berkebun, atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Lakukan
selama minimal 30 menit, 3 – 5 kali seminggu.
6. Istirahat
Jika
terlalu banyak kegiatan ternyata membuat kita tertekan, maka carilah waktu untuk
istirahat dan santai. Dengarkan tubuh kita sendiri. Jika tubuh sangat lelah, berikan
waktu untuk tidur. Selain itu lakukan kegiatan seperti mendengarkan musik, membaca,
menonton film, atau mencoba kegiatan baru yang menyenangkan. Anda juga juga
dapat melakukan pengaturan pernapasan, yoga, atau meditasi. Menggunakan waktu
10 menit untuk istirahat dalam satu hari yang sibuk akan membantu kita
mengatasi tekanan dengan lebih baik.
7. Konsumsi makanan dan minuman sehat
Otak
kita membutuhkan nutrisi agar tetap sehat dan berfungsi dengan baik, seperti
organ yang ada di dalam tubuh kita. Melakukan diet yang seimbang dapat membantu
kesehatan mental kita karena dapat membantu cara berpikir dan cara kita
merasakan sesuatu. Cobalah untuk mengkonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayuran
setiap hari serta minum air putih. Minimalisir konsumsi minuman berkafein,
berkadar gula tinggi, dan alkohol. Hindari makan, minum alkohol, merokok, dan menggunakan obat-obat terlarang
untuk menyelesaikan masalah atau
mengatasi perasaan tidak menyenangkan yang kita alami. Hal seperti itu tidak
akan menyelesaikan masalah, justru sebaliknya akan menciptakan masalah baru.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masyarakat yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbainsasi, memunculkan banyak masalah individual yang berdampak pada masalah sosial. Berangkat dari hal tersebut maka, tidak jarang kita mendengar penyesuaian diri terhadap masyarakat yang hyperkompleks itu tidak menjadi mudah. Hal ini mengantarkan masyarakat kedalam kesulitan-kesulitan seperti kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik baik yang terbuka maupun yang sifatnya tertutup atau dalam ranah batin sendiri.
Pengertian dari kesehatan
mental adalah suatu keadaan dimana seseorang harus terhindar dari gangguan
neurosis dan psikosis serta mampu bersosialisasi terhadap lingkungannya mulai
dari menaati aturan/norma sampai dengan membantu dan menghargai sesama. Namun,
kesehatan mental dari pandangan islam tidaklah demikian, jika kita melihat definisi
dari Imam Al-Ghazali maka yang dimaksud dengan kesehatan mental/jiwa adalah
seseorang yang terlepas dari berbagai macam penyakit hati.
Tanda-tanda kesehatan mental menurut
Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam, yaitu: pertama, kemapanan
(al-sakinah) , ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam
menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat maupun
Tuhan.
Dalam literatur yang berkembang,
setidak-tidaknya terdapat tiga pola untuk mengungkap metode perolehan dan
pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif islam: Pertama, metode tahalli,
takhalli, dan tajalli. Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat.
Ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Adapun terapi islami yang digunakan dalam
usaha preventif maupun kuratif terdiri dari terapi shalat, puasa, bergaul,
berpuasa dan zikir.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1 , Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Djamaludin
Ancok dan Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi Islami Solusi Islam atas
Problem-roblem Psikologi.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Abdul
mujib, M. A. & Jusuf Mudzakir, M., 2001. Nuansa- Nuansa Psikologi Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Prawitasari,
J. E. et al., 2003. Piskoterapi Pendekatan konvensional dan kontemprer. 2
penyunt. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Siswanto,
S.Psi., M.Si., 2007. Kesehatan Mental Konsep, Cakupan dan Perkembangannya, Yogyakarta:
CV. ANDI OFFSET
H.M.
Aji Nugroho,Lc., Konsep Jiwa Dalam Al-Quran Solusi Qur’ani Untuk Penciptaa
Kesehatan Jiwa Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. 2011.Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Muryana, Psikoterapi Islami
Terhadap Gangguan Jiwa Dan Relevansinya Bagi Resolusi Kekerasan Seksual Dalam
Perkawinan Religi, Vol. VIII, No. 1, Januari 2012: 30-48
http://doktersehat.com/menjaga-kesehatan-mental/
http://doktersehat.com/menjaga-kesehatan-mental/
Hawwa, S. 1995. Intisari
Ihya’ ‘Ulumuddin Al-Ghazali Mensucikan Jiwa. Jakarta: Robbani Pres.
Semogha bermanfaat....
Jangan lupa komentarnya yaa...
Keren, terima kasih gan.
ReplyDeleteBisa jadi tambahan materi nih buat tugas. hehehe